Thursday, April 23, 2015

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN ASESMEN OTENTIK TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

Kumpulan Contoh PTK matematika untuk SMK. Kumpulan PTK matematika untuk SMK dibawah ini berjudul : PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN ASESMEN OTENTIK TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS.
iawan
bennykurniawan1980@yahoo.com
Abstrak: Pembelajaran Berbasis Masalah dan Asesmen Otentik Terhadap
Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Keterampilan Berpikir Kritis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) perbedaan prestasi belajar antara
siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan
siswa yang mengikuti model pembelajaran dan asesmen konvensional, (2) interaksi
antara model pembelajaran dan keterampilan berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi, dan (4) perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
kuasi eksperimen dengan menggunakan rancangan posttest only control group design
yang melibatkan sampel sebanyak 158 orang siswa pada kelas X SMKN 1 Singaraja.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes
keterampilan berpikir kritis dan tes prestasi belajar. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis varian dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
(1) terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen konvensional, (2) terdapat interaksi antara model
pembelajaran dengan keterampilan berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi, dan (4) tidak terdapat perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik
dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran dan asesmen konvensional pada
siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis rendah.
Abstract: The effect of problem based learning and authentic assessment upon
academic achievement in mathematics viewed from critical thinking skills. This
study aimed at analyzing: (1) the difference between academic achievement who have
been taught by using problem based learning and authentic assessment and the
academic achievement who have been taught by using conventional learning model
and assessment, (2) interaction between learning model and critical thinking skill on
academic achievement in Mathematics, (3) the difference between academic
achievement who have been taught by using problem based and authentic assessment
Artikel_gede benny kurniawan Page 2
and the academic achievement who have been taught by using conventional learning
model and assessment with high critical thinking skill, (4) the difference between
academic achievement who have been taught by using problem based learning and
authentic assessment and the academic achievement who have been taught by using
conventional learning model and assessment with low critical thinking skill. This
study is categorized as quasi-experimental research which used posttest only control
group design. It involved 158 students in grade ten of SMK Negeri 1 Singaraja.
Critical thinking skill test and academic achievement test were used as instruments.
The data obtained were analyzed by using a two-way variant analysis. The findings of
this study show that: (1) there is difference between the academic achievement who
have been taught by using problem based learning and authentic assessment and the
academic achievement who have been taught by using conventional learning model
and assessment, (2) there is interaction between learning model and critical thinking
skill on academic achievement in Mathematics, (3) there are differences between
academic achievement who have been taught by using problem based learning and
authentic assessment and the academic achievement who have been taught by using
conventional learning model and assessment with high critical thinking skill, (4) there
are no differences between academic achievement who have been taught by using
problem based and authentic assessment and the academic achievement who have
been taught by using conventional learning model and assessment with low critical
thinking skill.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu
dasar dalam pengembangan sains dan
teknologi yang tidak terpisahkan lagi
dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa maju tidaknya
perkembangan teknologi suatu negara
tergantung dari penguasaan dan
kemajuan matematika di negara
tersebut. Salah satu karakteristik
matematika adalah mempunyai objek
kajian yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak objek matematika tersebut tetap
ada pada matematika sekolah, ini
menyebabkan banyak siswa mengalami
kesulitan dalam mempelajari
matematika sehingga banyak dari
mereka menakuti dan memusuhi mata
pelajaran tersebut.
Pentingnya penguasaan
matematika juga sangat dirasakan oleh
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yang merupakan salah satu satuan
pendidikan yang menyiapkan
lulusannya menjadi tenaga kerja.
Keberhasilan siswa lulusan SMK dalam
dunia kerja antara lain dipengaruhi oleh
penguasaan matematika. Penguasaan
matematika ini sangatlah diperlukan
oleh siswa SMK di hampir setiap
bidang keahlian. Pada bidang keahlian
bisnis dan manajemen, penguasaan
matematika ini sangat membantu siswa
dalam menjalankan aktivitasnya di
dunia kerja nanti. Jika seorang siswa
Artikel_gede benny kurniawan Page 3
lulusan SMK dari kelompok bisnis dan
manajemen ini tidak bisa menghitung
persentase untung dan rugi serta tidak
bisa merencanakan suatu usaha agar
mampu mendapatkan untung dalam
jumlah tertentu maka hampir bisa
dipastikan siswa tersebut tidak akan
berhasil dalam usahanya. Matematika
juga mengajarkan siswa bagaimana
caranya menarik kesimpulan yang logis
dari beberapa fakta yang ditemui,
sehingga jika siswa mampu menguasai
matematika tersebut maka siswa akan
mampu mengambil suatu keputusan
dengan cepat dan tepat.
Permasalahan tentang
penguasaan matematika terjadi di
berbagai jenjang pendidikan. SMK
Negeri 1 Singaraja sebagai sekolah
yang berstatus Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) juga
mengalami permasalahan yang sama.
Masih banyak siswa SMKN 1 Singaraja
yang tidak menyenangi mata pelajaran
ini. Bahkan, beberapa siswa yang
sempat diwawancarai mengatakan
bahwa alasan mereka masuk ke SMK
Negeri 1 Singaraja sebenarnya agar
tidak mendapatkan mata pelajaran
MIPA seperti halnya di sekolah umum.
Salah satu faktor penyebab
ketidaksenangan siswa terhadap mata
pelajaran matematika adalah karena
mereka tidak mengetahui hubungan
antara materi-materi yang dipelajarinya
dengan dunia nyata mereka. Siswa
SMK lebih dipersiapkan untuk bisa
terjun langsung ke dunia kerja, sehingga
mereka cenderung lebih mementingkan
mata pelajaran produktifnya daripada
mata pelajaran lain. Hal ini terjadi
karena mereka menganggap mata
pelajaran tersebut lebih berpengaruh
terhadap keberhasilan mereka nanti
dalam bersaing di dunia kerja. Ini
menjadi salah satu penyebab rendahnya
prestasi belajar matematika hampir pada
semua kelas di SMK Negeri 1
Singaraja.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, guru seyogyanya mengubah
cara mengajarnya sehingga siswa
mampu mengaitkan materi yang
dipelajarinya dengan dunia nyata
mereka. Salah satu model pembelajaran
inovatif yang mampu mengeleminir
permasalahan tersebut adalah
pembelajaran berbasis masalah yang
disertai dengan asesmen otentik.
Melalui pembelajaran berbasis masalah,
siswa diharapkan akan lebih termotivasi
dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan dunia nyata.
Pembelajaran berbasis masalah, yang
Artikel_gede benny kurniawan Page 4
nantinya disingkat dengan PBM,
merupakan suatu alat untuk
mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah dan bukan
semata-mata untuk mendapatkan ilmu.
Ini berarti dalam penerapan PBM, siswa
tidak hanya melakukan kegiatan
kognitif saja tapi secara bersama-sama
mereka mengembangkan kemampuan
afektif dan psikomotornya. Jadi dengan
menerapkan PBM, siswa akan lebih
bebas dalam menuangkan ide-idenya
tanpa ada ketakutan akan kesalahan dari
apa yang dibuat. Dengan kata lain, PBM
sangat menghargai keberagaman siswa.
Penggunaan masalah-masalah
kehidupan nyata dalam pembelajaran
berbasis masalah menjadikan
pembelajaran tersebut lebih bermakna.
Ibrahim dan Nur (2000) menyampaikan
bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan model belajar yang
mengorganisasikan pembelajaran di
sekitar pertanyaan dan masalah, melalui
pengajuan situasi kehidupan nyata yang
otentik dan bermakna, yang mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan
dan inkuiri, dengan menghindari
jawaban sederhana, serta
memungkinkan adanya berbagai macam
solusi dari situasi tersebut.
Model ini menjadi sangat tepat
digunakan di sekolah kejuruan,
mengingat salah satu fungsi sekolah
adalah menyiapkan siswa untuk
menghadapi dunia nyata, dengan
menyadarkan siswa pada harapan yang
dikehendaki, tantangan yang akan
dihadapinya, serta kemampuan yang
perlu mereka kuasai (Dryden, 2002:79).
Pada pembelajaran berbasis masalah,
siswa diberikan masalah yang
kontekstual. Melalui masalah
kontekstual, guru mengaitkan materi
yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa. Pendekatan ini akan
mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Akibatnya pembelajaran
akan menjadi lebih hidup, siswa
termotivasi untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian siswa akan lebih
mudah memahami konsep-konsep yang
ada di dalamnya. Sebagai akibatnya,
prestasi belajar matematika siswa dapat
meningkat.
Dilihat dari aspek filosofis
tentang fungsi sekolah sebagai wahana
untuk mempersiapkan anak didik agar
dapat hidup di masyarakat maka
pembelajaran berbasis masalah
Artikel_gede benny kurniawan Page 5
merupakan model pembelajaran yang
penting untuk diterapkan, karena pada
kenyataannya setiap manusia hidup
akan selalu dihadapkan pada masalah,
baik dari masalah paling sederhana
sampai dengan masalah yang sangat
rumit. Melalui penerapan pembelajaran
berbasis masalah diharapkan dapat
memberikan latihan dan kemampuan
setiap individu untuk dapat
memecahkan permasalahan yang
dihadapi. Berkaitan dengan konteks
perbaikan kualitas hasil pendidikan,
pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan
untuk memperbaiki sistem
pembelajaran.
Asesmen otentik adalah asesmen
yang meminta siswa untuk melakukan
tugas-tugas nyata yang mewakili atau
menunjukkan aplikasi secara bermakna
atas pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya (Marhaeni, 2008). Wiggins
(dalam Marhaeni, 2008) mengatakan
bahwa asesmen otentik merupakan
masalah atau pertanyaan yang bermakna
yang mampu membuat siswa
menggunakan pengetahuannya dalam
melakukan unjuk kerja secara efektif
dan kreatif sehingga mereka terlibat
dalam pembelajaran. Tugas yang
diberikan dapat berupa replika atau
analogi dari jenis permasalahan yang
dihadapi orang dewasa dan mereka
yang dapat terlibat pada bidang tersebut.
Ada beberapa alasan penggunaan
asesmen otentik dalam pembelajaran,
yaitu: (1) sangat mendukung
pengembangan kurikulum yang sedang
berlaku saat ini, (2) memberikan
pengalaman nyata bagi siswa dalam
melakukan berbagai aktivitas
pemecahan masalah melalui
eksperimen, demonstrasi, maupun
kegiatan lapangan, (3) memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
menunjukkan berbagai kemampuannya,
baik dalam bentuk pengetahuan, kinerja,
maupun sikapnya dalam pembelajaran
matematika, serta (4) berupaya untuk
memandirikan siswa dalam belajar,
bekerja sama, serta menilai dirinya
sendiri (self evaluation).
Model pembelajaran dan cara
penilaian matematika yang diterapkan
oleh guru di kelas sebenarnya
merupakan salah satu faktor yang
menentukan prestasi belajar siswa.
Faktor lain dalam belajar matematika
adalah faktor dari dalam diri setiap
siswa dalam hal ini adalah keterampilan
berpikir kritis. Menurut Paul dan Elder
(2007), berpikir kritis merupakan cara
Artikel_gede benny kurniawan Page 6
bagi seseorang untuk meningkatkan
kualitas dari hasil pemikiran
menggunakan teknik sistemasi cara
berpikir dan menghasilkan daya pikir
intelektual dalam ide-ide yang digagas.
Screven dan Paul (1987) memandang
bahwa berpikir kritis sebagai proses
disiplin cerdas secara aktif dan terampil
dari konseptualisasi, penerapan,
analisis, sintesa, dan mengevaluasi
informasi yang diperoleh dari, atau
dihasilkan oleh, pengamatan,
pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi, sebagai panduan untuk
keyakinan dan tindakan. Berpikir kritis
dapat digunakan sebagai sarana dalam
memecahkan masalah, mengambil
keputusan, mencari jawaban,
memperkaya arti, memenuhi keinginan
untuk mengetahui sesuatu (Johnson,
2002). Keterampilan berpikir kritis
dapat membantu manusia membuat
keputusan yang tepat berdasarkan usaha
yang cermat, sistematis, logis, dan
mempertimbangkan berbagai sudut
pandang.
Siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis akan dapat
bertindak secara normatif, siap bernalar
tentang sesuatu yang dilihat, dengar
atau pikirkan serta mampu memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
Menurut Santyasa (2006), ciri-ciri orang
yang memiliki kompetensi berpikir
kritis adalah cermat, suka
mengklasifikasi, terbuka, emosi stabil,
segera mengambil langkah-langkah
ketika situasi membutuhkan, suka
menuntut, menghargai perasaan dan
pendapat orang lain. Berpikir kritis
menurut Hiebert (1998) merupakan cara
berpikir logis yang memfokuskan pada
apa yang harus dipercayai atau
dilakukan. Dengan demikian siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi cenderung mampu dan tertantang
dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang diberikan di awal pembelajaran,
sedangkan siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah
justru sebaliknya.
Dalam pembelajaran berbasis
masalah yang dipadukan dengan
asesmen otentik, siswa diharapkan
mampu mengatasi permasalahan yang
diberikan sebagai proses untuk
menguasai konsep-konsep matematika
yang ada. Melalui PBM siswa diajak
untuk menyelesaikan masalah yang
kontekstual. Siswa didorong untuk
membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimiliki dengan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
diskusinya kemudian dibuat dalam
Artikel_gede benny kurniawan Page 7
bentuk laporan sederhana serta
dipaparkan melalui kegiatan presentasi
yang merupakan salah satu bentuk
asesmen otentik. Asesmen otentik yang
dipadukan dengan model pembelajaran
berbasis masalah ini ditujukan untuk
meningkatkan aktivitas dan motivasi
siswa dalam mengikuti pembelajaran
serta memberikan kesempatan kepada
siswa untuk selalu menilai dirinya
sendiri sehingga dapat mengetahui
tingkat penguasaan materi mereka.
Dengan meningkatnya aktivitas dan
motivasi siswa dalam mengikuti
pembelajaran serta diketahuinya
hubungan antara matematika sekolah
dengan dunia nyata mereka, siswa akan
lebih mudah memahami konsep-konsep
yang ada. Sebagai akibatnya, prestasi
belajar matematika siswa dapat
meningkat. Akan tetapi penerapan PBM
dan asesmen otentik di kelas sangatlah
perlu memperhatikan tingkat
keterampilan berpikir kritis siswa,
karena tingkat keterampilan berpikir
kritis ini mempengaruhi respon siswa
terhadap model pembelajaran yang
diterapkan. Siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
memiliki respon yang berbeda dengan
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis tertarik
untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik terhadap prestasi
belajar matematika ditinjau dari
keterampilan berpikir kritis siswa.
Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional, (2) untuk
mengetahui adanya interaksi antara
model pembelajaran dan keterampilan
berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi, dan (4) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
Artikel_gede benny kurniawan Page 8
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
METODE
Penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitian kuasi eksperimen. Rancangan
eksperimen yang digunakan adalah
Posttest Only Control Group Design.
Dalam rancangan ini subyek yang
diambil dari populasi dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
secara acak (Arikunto, 2002a). Populasi
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
X program studi keahlian akuntansi di
SMK Negeri 1 Singaraja, tahun
pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari 4
kelas. Dari uji kesetaraan, didapatkan
bahwa keempat kelas tersebut
dinyatakan setara. Selanjutnya secara
random dipilih dua kelas yaitu kelas X
akuntansi A dan X akuntansi D sebagai
kelas eksperimen yang akan
dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik, sedangkan dua kelas
yang lain yaitu kelas X akuntansi B dan
X akuntansi C sebagai kelas kontrol
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional.
Untuk rancangan analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan faktorial 22 dengan
keterampilan berpikir kritis sebagai
faktor pemilah (variabel moderator).
Pemilah dibagi atas dua tingkatan yaitu
keterampilan berpikir kritis di atas ratarata
(27% dari atas) dan di bawah ratarata
(27% dari bawah) setelah data
diurutkan dari yang paling besar ke
paling kecil. Sebanyak 27% siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tertinggi untuk selanjutnya disebut
kelompok siswa dengan keterampilan
berpikir kritis tinggi, sedangkan
sebanyak 27% siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis terendah
untuk selanjutnya disebut kelompok
siswa dengan keterampilan berpikir
kritis rendah. Pengambilan masingmasing
27% kelompok atas dan
kelompok bawah didasarkan pada
anjuran Guilford (Candiasa, 2002).
Dalam pelaksanaan penelitian,
pemisahan tingkat keterampilan
berpikir kritis bersifat semu artinya
dalam kegiatan eksperimen, siswa tidak
dipisahkan secara nyata antara yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi dan keterampilan berpikir kritis
rendah. Karena kelas eksperimen dan
kelas konrol memiliki jumlah siswa
Artikel_gede benny kurniawan Page 9
yang sama, maka dapat ditentukan
banyaknya siswa yang termasuk
kelompok atas dan kelompok bawah di
masing-masing kelas yaitu masingmasing
terdiri dari 22 orang siswa.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu data mengenai
keterampilan berpikir kritis dan prestasi
belajar matematika siswa, baik pada
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik maupun pada
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Data mengenai
keterampilan berpikir kritis siswa
diperoleh melalui tes keterampilan
berpikir kritis yang terdiri dari 25 soal
objektif. Sedangkan data mengenai
prestasi belajar matematika siswa
diperoleh melalui tes prestasi belajar
yang terdiri dari 25 soal objektif yang
diperluas. Kedua tes yang digunakan
tersebut telah melalui uji validitas dan
reliabilitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan hasil tes keterampilan
berpikir kritis, diperoleh data siswa
yang termasuk ke dalam kelompok
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi dan kelompok
siswa yang berpikir kritis rendah, baik
yang berada pada kelas eksperimen
maupun kelas kontrol. Data prestasi
belajar kelompok siswa tersebut
ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 01: Rangkuman Data Prestasi Belajar Matematika
Sampel
Statistik
A1 A2 B1 B2 1 1 AB 1 2 AB 2 1 A B 2 2 A B
Rata-rata 71,95 66,59 69,98 68,57 75,64 68,27 64,32 68,86
Median 71,00 67,00 70,50 67,50 76,00 68,00 64,50 67,50
Modus 67,00 67,00 67,00 69,00 76,00 69,00 62,00 65,00
Varians 46,84 44,06 64,07 40,53 33,39 34,11 30,70 48,69
SD 6,84 6,64 8,00 6,37 5,78 5,84 5,54 6,98
Maks 86,00 79,00 86,00 84,00 86,00 84,00 73,00 79,00
Min 56,00 55,00 55,00 56,00 64,00 56,00 55,00 57,00
Artikel_gede benny kurniawan Page 10
Keterangan:
1 A : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik
2 A : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional
1 B : Kelompok siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis tinggi
2 B : Kelompok siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis rendah
1 1 AB : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dan memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
1 2 AB : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dan memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah
2 1 A B : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional dan memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi
2 2 A B
: Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional dan memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah
Berdasarkan hasil uji
normalitas dan uji homogenitas varians
dapat disimpulkan bahwa data dari
semua kelompok berasal dari populasi
yang berdistribusi normal dan
mempunyai varians yang homogen.
Oleh karena itu, uji hipotesis dengan
ANAVA dapat dilakukan.Uji hipotesis
dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan ANAVA dua jalur.
Selanjutnya bila terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis dalam
pengaruhnya terhadap prestasi belajar
matematika maka dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan uji Tukey.
Rangkuman hasil analisis ANAVA dua
jalur dapat dilihat pada tabel 02
berikut.
Artikel_gede benny kurniawan Page 11
Tabel 02: Rangkuman Hasil ANAVA dua jalur
Sumber
Varian
Jumlah
Kuadrat
Derajat
kebebasan
Rata-rata
Jumlah
Kuadrat
hitung F tabel F Keterangan
A 632,9091 1 632,9091 17,2342 3,96 Signifikan
B 43,6818 1 43,6818 1,1894 3,96 Non Signifikan
AB 780,0455 1 780,0455 21,2407 3,96 Signifikan
Dalam 3084,818 84 36,7240 -
Total 4541,455 87 - -
Tujuan pertama penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis
pertama dengan rincian H0 : A1 = A2
dan H1 : A1 ≠ A2. Dari hasil
perhitungan ANAVA dua jalur
ditunjukkan bahwa nilai Fhitung =
17,2342 dan nilai Ftabel = 3,96 pada
taraf signifikansi 5%. Karena Fhitung >
Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Ini berarti bahwa ada perbedaan
prestasi belajar matematika antara
siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran dan asesmen
konvensional.
Tujuan kedua penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis kedua
dengan rincian H0 : INT A  B = 0 dan
H1 : INT A  B ≠ 0. Dari hasil
perhitungan ANAVA dua jalur
ditunjukkan bahwa nilai Fhitung =
21,2407 dan nilai Ftabel = 3,96 pada
taraf signifikansi 5%. Karena Fhitung >
Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Ini berarti bahwa terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika siswa.
Tujuan ketiga penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis ketiga
dengan rincian H0 : A1B1 = A2B1
dan H1 : A1B1 ≠ A2B1. Dari hasil
perhitungan uji Tukey diperoleh Qhitung
sebesar 8,7602, sedangkan harga Qtabel
sebesar 2,83. Jadi Qhitung > Qtabel.
Berdasarkan hasil tersebut, maka H0
ditolak dan H1 diterima. Ini berarti
bahwa terdapat perbedaan prestasi
belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi.
Artikel_gede benny kurniawan Page 12
Tujuan keempat penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis
keempat dengan rincian H0 : A1B2 =
A2 B2 dan H1 : A1 B2 ≠ A2 B2. Dari
hasil perhitungan uji Tukey diperoleh
Qhitung sebesar 0,6468, sedangkan harga
Qtabel sebesar 2,83 Jadi Qhitung < Qtabel.
Berdasarkan hasil tersebut, maka H0
diterima dan H1 ditolak. ini berarti
bahwa tidak ada perbedaan prestasi
belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
Dasar filosofi model
pembelajaran berbasis masalah adalah
konstruktivisme yang menyatakan
bahwa pebelajar membangun
pengetahuan dalam benaknya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut bahwa
pengetahuan fisik dan pengetahuan
logika-matematika tidak dapat
dipindahkan secara utuh. Setiap siswa
harus sendiri membangun
pengetahuannya. Di samping secara
teoretik model pembelajaran berbasis
masalah meletakkan dasar pada
filosofis pendidikan John Dewey,
dimana siswa akan belajar dengan baik
apabila mereka terlibat secara aktif
dalam segala kegiatan di kelas dan
berkesempatan untuk menemukan
sendiri (Jacobsen, Eggen, Kauchak,
2009). Guru dapat membantu pebelajar
dengan cara membuat informasi
menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan
ide-ide. Keadaan ini dapat dimisalkan
dengan guru menyediakan tangga yang
dapat membantu siswa untuk mencapai
prestasi belajar yang lebih tinggi,
namun harus diupayakan agar siswa
sendiri yang memanjat tangga itu.
Implementasi pembelajaran
berbasis masalah di kelas dimulai
dengan penyampaian masalah kepada
siswa. Masalah yang diberikan kepada
siswa adalah masalah yang
kontekstual, yaitu masalah yang aktual
yang ada di sekitar lingkungannya dan
relevan dengan materi yang diharapkan
dapat dikuasai oleh siswa. Masalah
yang disajikan di awal pembelajaran
merupakan stimulus pembelajaran.
Ketika siswa menghadapi masalah
yang berkaitan dengan kehidupan
mereka sehari-hari, timbul rasa
tanggung jawab untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, sehingga pada
Artikel_gede benny kurniawan Page 13
diri siswa muncul kesadaran untuk
menggali informasi yang relevan untuk
menyelesaikan permasalahan yang
sedang dihadapi. Masalah-masalah
yang sedikit banyak berhubungan
dengan bidang keahlian siswa mampu
membuat siswa lebih tertantang untuk
menyelesaikan permasalahanpermasalahan
tersebut.
Asesmen otentik yang
dilakukan oleh guru juga memberikan
banyak kontribusi dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa. Melalui asesmen
kinerja yang dilakukan dalam
pembelajaran, siswa merasa bahwa
tugas-tugas yang mereka kerjakan
benar-benar bermakna dan mereka
langsung mengetahui tingkat
pengetahuannya terhadap suatu
permasalahan. Hal ini disebabkan
karena dalam asesmen kinerja ada tiga
komponen utama yang harus
diperhatikan yaitu tugas kinerja
(performance task), rubrik performansi
(performance rubrics), dan cara
penilaian (scoring guide). Kemudian
melalui evaluasi diri yang dilakukan
pada setiap akhir pembelajaran, siswa
dapat melihat kelebihan maupun
kekurangannya, untuk selanjutnya
kekurangan ini menjadi tujuan
perbaikan (improvement goal). Hal ini
berakibat pada meningkatnya tanggung
jawab siswa terhadap proses dan
pencapaian tujuan belajarnya. Ini
sejalan dengan apa yang disampaikan
oleh Salvia dan Ysseldike (1996)
bahwa refleksi dan evaluasi diri
merupakan cara untuk menumbuhkan
rasa kepemilikan (ownership), yaitu
timbul suatu pemahaman bahwa apa
yang dilakukan dan dihasilkan peserta
didik tersebut memang merupakan hal
yang berguna bagi diri dan
kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut,
dapat diyakini bahwa model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik lebih unggul
dibandingkan dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional dalam pencapaian
prestasi belajar matematika siswa,
sehingga model pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik ini
diharapkan dapat menjadi suatu
alternatif pembelajaran dalam upaya
peningkatan prestasi belajar siswa.
Keterampilan berpikir kritis
yaitu kemampuan untuk menganalisa
fakta, mengorganisasi ide-ide,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membuat suatu
kesimpulan, mempertimbangkan
Artikel_gede benny kurniawan Page 14
argumen, dan memecahkan masalah.
Mereka yang berpikir secara kritis
memiliki pemaknaan gagasan dengan
lebih baik, tetap terbuka tentang
beragam pendekatan dan sudut
pandang dan menentukan untuk diri
mereka sendiri apa yang harus
dipercaya atau apa yang harus
dilakukan. Berdasarkan hal tersebut,
maka siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis tinggi
cenderung menyukai model
pembelajaran yang memberikan
tantangan bagi mereka. Dalam
penerapan model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik,
siswa disajikan beberapa permasalahan
di awal pembelajaran. Hal tersebut
memberikan peluang bagi siswa,
terutama siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis tinggi,
untuk mencoba menggunakan
kemampuannya dalam menganalisa
fakta, mengorganisasi ide-ide,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membuat suatu
kesimpulan, mempertimbangkan
argumen, dan memecahkan masalah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa siswa yang memiliki
tingkat keterampilan berpikir kritis
tinggi lebih baik jika padanya
diterapkan model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik.
Siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis rendah
cenderung kurang termotivasi dan
kurang percaya diri dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Hal tersebut
menyebabkan siswa sulit menentukan
arah kegiatan belajar, karena itu dalam
kegiatan belajarnya lebih suka
mempertahankan kebiasaan yang sudah
ada dan kurang tertarik kepada
pembaruan. Indikasi lain yaitu siswa
yang memiliki keterampilan berpikir
kritis rendah kurang aktif dalam proses
pembelajaran, dan cenderung
bergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas. Karakteristikkarakteristik
tersebut membutuhkan
peran guru yang lebih banyak untuk
mengarahkan materi pelajaran selama
proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran yang lebih
mementingkan peran guru dalam
proses pembelajaran adalah model
pembelajaran konvensional, karena
siswa yang mempunyai keterampilan
berpikir kritis rendah melalui
bimbingan guru dapat mencapai
prestasi belajar siswa yang lebih
optimal. Peran guru yang aktif bagi
Artikel_gede benny kurniawan Page 15
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah mutlak
diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas
dapat dilihat adanya kesesuaian antara
ciri siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi dengan kondisi
yang diperlukan dalam pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik
yaitu menyukai tantangan, memiliki
keinginan yang kuat untuk
menganalisa suatu fakta sehingga
mampu memecahkan suatu
permasalahan. Demikian pula siswa
yang memiliki keterampilan berpikir
kritis rendah dengan ciri cenderung
kurang aktif, kondisi ini membutuhkan
keaktifan guru dalam mengajar,
sehingga kegiatan belajar mengajar
tetap dapat berjalan dengan baik.
Penelitian ini membuktikan bahwa
suatu model pembelajaran dalam
meningkatkan prestasi belajar
berkaitan dengan karakteristik siswa
yaitu keterampilan berpikir kritis.
PENUTUP
Berdasarkan hasil-hasil
pengujian hipotesis dan pembahasan
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
sebagai berikut. Pertama, terdapat
perbedaan prestasi belajar antara siswa
yang mengikuti pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik dengan
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Siswa yang belajar
dengan model pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik
menunjukkan prestasi belajar yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang belajar dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Kedua, terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika. Ketiga,
terdapat perbedaan prestasi belajar
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran berbasis masalah
dan asesmen otentik dengan kelompok
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi. Kelompok siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
memiliki prestasi belajar yang lebih
baik jika dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dibandingkan dengan
model pembelajaran dan asesmen
konvensional. Keempat, tidak terdapat
perbedaan prestasi belajar antara
Artikel_gede benny kurniawan Page 16
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan kelompok
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
Adapun saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut.
Pertama, Bagi praktisi pendidikan,
perlu adanya penelitian lebih lanjut
menyangkut model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik.
Dalam hal ini tidak hanya pada standar
kompetensi memecahkan masalah
yang berkaitan dengan fungsi,
persamaan fungsi linear dan fungsi
kuadrat saja tetapi juga pada materi
yang lain. Selain itu, sampel penelitian
diharapkan lebih besar dan pada
tingkat yang beragam, sehingga
temuan dalam penelitian ini mendapat
lebih banyak kajian sebagai bahan
pertimbangan. Dengan demikian
ketepatan dalam penerapan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik ini dapat
dioptimalkan. Kedua, Bagi guru,
dengan ditemukan adanya interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika maka
dalam memilih model pembelajaran
hendaknya senantiasa
mempertimbangkan keadaan peserta
didik, khususnya tingkat keterampilan
berpikir kritisnya. Penerapan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik akan memperoleh
hasil yang optimal jika peserta didik
yang dihadapi kecenderungan memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi. Jika
dalam suatu kelas ditemukan beberapa
siswa tidak memiliki keterampilan
berpikir kritis yang memadai maka
diperlukan adanya pra kondisi terhadap
keterampilan berpikir kritisnya
sebelum model pembelajaran ini
diterapkan. Pra kondisi bisa dilakukan
dengan cara memberikan masalahmasalah
yang dapat melatih
keterampilan berpikir kritis siswa
tersebut. Ketiga, Asesmen otentik yang
diterapkan dalam penelitian ini hanya
terbatas pada dua bentuk asesmen yaitu
asesmen kinerja dan evaluasi diri.
Kedua jenis asesmen tersebut diambil
dengan asumsi bahwa keduanya sesuai
dengan karakteristik siswa SMK yang
berharap mendapatkan bekal yang
cukup sebelum mereka terjun di dunia
kerja. Untuk itu perlu kiranya dikaji
penggunaan bentuk asesmen lainnya
Artikel_gede benny kurniawan Page 17
dalam pembelajaran pada satuan
pendidikan yang berbeda. Penggunaan
bentuk asesmen sebaiknya disesuaikan
dengan karakteristik siswa yang
dihadapi, sehingga hasil yang
diharapkan maksimal. Keempat,
Asesmen otentik yang diterapkan
dalam penelitian ini hanya sebatas
untuk meningkatkan aktivitas,
motivasi, dan sikap siswa terhadap
kegiatan-kegiatan yang relevan dalam
kelas. Hasil-hasil penilaian yang
diperoleh siswa tidak diintegrasikan
dengan hasil tes prestasi belajar siswa
bersangkutan. Untuk itu perlu dikaji
lebih lanjut tentang penggunaan hasil
asesmen otentik ini sehingga
berpengaruh langsung terhadap skor
prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002a. Manajemen
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta
Dryden, G. 2002. Revolusi Cara
Belajar. Cet. Ke-3. Bandung :
Kaifa.
Ibrahim, M. dan Mohamad N. 2000.
Pengajaran Berdasarkan
Masalah. Pusat Sains dan
Matematika Sekolah. Program
Pascasarjana UNESA:
University Press
Marheni, AAIN. 2008. Pembelajaran
Berbasis Asesmen Otentik
dalam Rangka Implementasi
Sekolah Kategori Mandiri
(SKM). Makalah. Disajikan
dalam Pelatihan Peningkatan
Kinerja Guru SMA 1 Kediri
Tabanan, dalam Rangka
Implementasi SKM; tanggal 30
Desember 2008
Paul, R & Elder, L. 2007. Critical
Thingking Concepts and Tool.
Tersedia pada: http://www.
criticalthingking.org/files/SAMCrtclCrtvThnkg.
pdf. diakses
pada tanggal 11 Desember 2011
Scriven, M. & Paul, R. 1987. Critical
Thingking as Defined by the
National Council for Excellence
in Critical Thingking. Presented
at the 8th Annual International
Conference on Critical
Thingking and Education
Reform
Santyasa, I. W. 2006.
Pengakomodasian Perubahan
Paradigma Peserta Didik
dalam Pembelajaran. Orasi
Pengenalan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Disiplin Ilmu
Pendidikan Fisika pada
Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Disampaikan pada Sidang
Terbuka Senat Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja,
Senin 28 Agustus 2006.
Johnson, E.B. 2002. Contextual
Teaching and Learning: What it
is and why it’s here to stay.
United States of America:
Corwin Press, INC
Jacobsen, D.A., Eggen, P., & Kauchak,
D. 2009. Methods for Teaching:
Artikel_gede benny kurniawan Page 18
Promoting Students Learning in
K-12 Classrooms: Person
education, Inc: Allyn & Bacon
Candiasa, I M. 2002. Pengaruh
Strategi Pembelajaran dan
Gaya Kognitif terhadap
Kemampuan Memprogramkan
Komputer. Jakarta: Universitas
Negeri JakartaArtikel_gede benny kurniawan Page 1
PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
DAN ASESMEN OTENTIK TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
Gede Benny Kurniawan
bennykurniawan1980@yahoo.com
Abstrak: Pembelajaran Berbasis Masalah dan Asesmen Otentik Terhadap
Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Keterampilan Berpikir Kritis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) perbedaan prestasi belajar antara
siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan
siswa yang mengikuti model pembelajaran dan asesmen konvensional, (2) interaksi
antara model pembelajaran dan keterampilan berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi, dan (4) perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
kuasi eksperimen dengan menggunakan rancangan posttest only control group design
yang melibatkan sampel sebanyak 158 orang siswa pada kelas X SMKN 1 Singaraja.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes
keterampilan berpikir kritis dan tes prestasi belajar. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis varian dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
(1) terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen konvensional, (2) terdapat interaksi antara model
pembelajaran dengan keterampilan berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran dan asesmen konvensional pada siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi, dan (4) tidak terdapat perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik
dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran dan asesmen konvensional pada
siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis rendah.
Abstract: The effect of problem based learning and authentic assessment upon
academic achievement in mathematics viewed from critical thinking skills. This
study aimed at analyzing: (1) the difference between academic achievement who have
been taught by using problem based learning and authentic assessment and the
academic achievement who have been taught by using conventional learning model
and assessment, (2) interaction between learning model and critical thinking skill on
academic achievement in Mathematics, (3) the difference between academic
achievement who have been taught by using problem based and authentic assessment
Artikel_gede benny kurniawan Page 2
and the academic achievement who have been taught by using conventional learning
model and assessment with high critical thinking skill, (4) the difference between
academic achievement who have been taught by using problem based learning and
authentic assessment and the academic achievement who have been taught by using
conventional learning model and assessment with low critical thinking skill. This
study is categorized as quasi-experimental research which used posttest only control
group design. It involved 158 students in grade ten of SMK Negeri 1 Singaraja.
Critical thinking skill test and academic achievement test were used as instruments.
The data obtained were analyzed by using a two-way variant analysis. The findings of
this study show that: (1) there is difference between the academic achievement who
have been taught by using problem based learning and authentic assessment and the
academic achievement who have been taught by using conventional learning model
and assessment, (2) there is interaction between learning model and critical thinking
skill on academic achievement in Mathematics, (3) there are differences between
academic achievement who have been taught by using problem based learning and
authentic assessment and the academic achievement who have been taught by using
conventional learning model and assessment with high critical thinking skill, (4) there
are no differences between academic achievement who have been taught by using
problem based and authentic assessment and the academic achievement who have
been taught by using conventional learning model and assessment with low critical
thinking skill.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu
dasar dalam pengembangan sains dan
teknologi yang tidak terpisahkan lagi
dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa maju tidaknya
perkembangan teknologi suatu negara
tergantung dari penguasaan dan
kemajuan matematika di negara
tersebut. Salah satu karakteristik
matematika adalah mempunyai objek
kajian yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak objek matematika tersebut tetap
ada pada matematika sekolah, ini
menyebabkan banyak siswa mengalami
kesulitan dalam mempelajari
matematika sehingga banyak dari
mereka menakuti dan memusuhi mata
pelajaran tersebut.
Pentingnya penguasaan
matematika juga sangat dirasakan oleh
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yang merupakan salah satu satuan
pendidikan yang menyiapkan
lulusannya menjadi tenaga kerja.
Keberhasilan siswa lulusan SMK dalam
dunia kerja antara lain dipengaruhi oleh
penguasaan matematika. Penguasaan
matematika ini sangatlah diperlukan
oleh siswa SMK di hampir setiap
bidang keahlian. Pada bidang keahlian
bisnis dan manajemen, penguasaan
matematika ini sangat membantu siswa
dalam menjalankan aktivitasnya di
dunia kerja nanti. Jika seorang siswa
Artikel_gede benny kurniawan Page 3
lulusan SMK dari kelompok bisnis dan
manajemen ini tidak bisa menghitung
persentase untung dan rugi serta tidak
bisa merencanakan suatu usaha agar
mampu mendapatkan untung dalam
jumlah tertentu maka hampir bisa
dipastikan siswa tersebut tidak akan
berhasil dalam usahanya. Matematika
juga mengajarkan siswa bagaimana
caranya menarik kesimpulan yang logis
dari beberapa fakta yang ditemui,
sehingga jika siswa mampu menguasai
matematika tersebut maka siswa akan
mampu mengambil suatu keputusan
dengan cepat dan tepat.
Permasalahan tentang
penguasaan matematika terjadi di
berbagai jenjang pendidikan. SMK
Negeri 1 Singaraja sebagai sekolah
yang berstatus Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) juga
mengalami permasalahan yang sama.
Masih banyak siswa SMKN 1 Singaraja
yang tidak menyenangi mata pelajaran
ini. Bahkan, beberapa siswa yang
sempat diwawancarai mengatakan
bahwa alasan mereka masuk ke SMK
Negeri 1 Singaraja sebenarnya agar
tidak mendapatkan mata pelajaran
MIPA seperti halnya di sekolah umum.
Salah satu faktor penyebab
ketidaksenangan siswa terhadap mata
pelajaran matematika adalah karena
mereka tidak mengetahui hubungan
antara materi-materi yang dipelajarinya
dengan dunia nyata mereka. Siswa
SMK lebih dipersiapkan untuk bisa
terjun langsung ke dunia kerja, sehingga
mereka cenderung lebih mementingkan
mata pelajaran produktifnya daripada
mata pelajaran lain. Hal ini terjadi
karena mereka menganggap mata
pelajaran tersebut lebih berpengaruh
terhadap keberhasilan mereka nanti
dalam bersaing di dunia kerja. Ini
menjadi salah satu penyebab rendahnya
prestasi belajar matematika hampir pada
semua kelas di SMK Negeri 1
Singaraja.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, guru seyogyanya mengubah
cara mengajarnya sehingga siswa
mampu mengaitkan materi yang
dipelajarinya dengan dunia nyata
mereka. Salah satu model pembelajaran
inovatif yang mampu mengeleminir
permasalahan tersebut adalah
pembelajaran berbasis masalah yang
disertai dengan asesmen otentik.
Melalui pembelajaran berbasis masalah,
siswa diharapkan akan lebih termotivasi
dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan dunia nyata.
Pembelajaran berbasis masalah, yang
Artikel_gede benny kurniawan Page 4
nantinya disingkat dengan PBM,
merupakan suatu alat untuk
mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah dan bukan
semata-mata untuk mendapatkan ilmu.
Ini berarti dalam penerapan PBM, siswa
tidak hanya melakukan kegiatan
kognitif saja tapi secara bersama-sama
mereka mengembangkan kemampuan
afektif dan psikomotornya. Jadi dengan
menerapkan PBM, siswa akan lebih
bebas dalam menuangkan ide-idenya
tanpa ada ketakutan akan kesalahan dari
apa yang dibuat. Dengan kata lain, PBM
sangat menghargai keberagaman siswa.
Penggunaan masalah-masalah
kehidupan nyata dalam pembelajaran
berbasis masalah menjadikan
pembelajaran tersebut lebih bermakna.
Ibrahim dan Nur (2000) menyampaikan
bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan model belajar yang
mengorganisasikan pembelajaran di
sekitar pertanyaan dan masalah, melalui
pengajuan situasi kehidupan nyata yang
otentik dan bermakna, yang mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan
dan inkuiri, dengan menghindari
jawaban sederhana, serta
memungkinkan adanya berbagai macam
solusi dari situasi tersebut.
Model ini menjadi sangat tepat
digunakan di sekolah kejuruan,
mengingat salah satu fungsi sekolah
adalah menyiapkan siswa untuk
menghadapi dunia nyata, dengan
menyadarkan siswa pada harapan yang
dikehendaki, tantangan yang akan
dihadapinya, serta kemampuan yang
perlu mereka kuasai (Dryden, 2002:79).
Pada pembelajaran berbasis masalah,
siswa diberikan masalah yang
kontekstual. Melalui masalah
kontekstual, guru mengaitkan materi
yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa. Pendekatan ini akan
mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Akibatnya pembelajaran
akan menjadi lebih hidup, siswa
termotivasi untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian siswa akan lebih
mudah memahami konsep-konsep yang
ada di dalamnya. Sebagai akibatnya,
prestasi belajar matematika siswa dapat
meningkat.
Dilihat dari aspek filosofis
tentang fungsi sekolah sebagai wahana
untuk mempersiapkan anak didik agar
dapat hidup di masyarakat maka
pembelajaran berbasis masalah
Artikel_gede benny kurniawan Page 5
merupakan model pembelajaran yang
penting untuk diterapkan, karena pada
kenyataannya setiap manusia hidup
akan selalu dihadapkan pada masalah,
baik dari masalah paling sederhana
sampai dengan masalah yang sangat
rumit. Melalui penerapan pembelajaran
berbasis masalah diharapkan dapat
memberikan latihan dan kemampuan
setiap individu untuk dapat
memecahkan permasalahan yang
dihadapi. Berkaitan dengan konteks
perbaikan kualitas hasil pendidikan,
pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan
untuk memperbaiki sistem
pembelajaran.
Asesmen otentik adalah asesmen
yang meminta siswa untuk melakukan
tugas-tugas nyata yang mewakili atau
menunjukkan aplikasi secara bermakna
atas pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya (Marhaeni, 2008). Wiggins
(dalam Marhaeni, 2008) mengatakan
bahwa asesmen otentik merupakan
masalah atau pertanyaan yang bermakna
yang mampu membuat siswa
menggunakan pengetahuannya dalam
melakukan unjuk kerja secara efektif
dan kreatif sehingga mereka terlibat
dalam pembelajaran. Tugas yang
diberikan dapat berupa replika atau
analogi dari jenis permasalahan yang
dihadapi orang dewasa dan mereka
yang dapat terlibat pada bidang tersebut.
Ada beberapa alasan penggunaan
asesmen otentik dalam pembelajaran,
yaitu: (1) sangat mendukung
pengembangan kurikulum yang sedang
berlaku saat ini, (2) memberikan
pengalaman nyata bagi siswa dalam
melakukan berbagai aktivitas
pemecahan masalah melalui
eksperimen, demonstrasi, maupun
kegiatan lapangan, (3) memberikan
kesempatan kepada siswa untuk
menunjukkan berbagai kemampuannya,
baik dalam bentuk pengetahuan, kinerja,
maupun sikapnya dalam pembelajaran
matematika, serta (4) berupaya untuk
memandirikan siswa dalam belajar,
bekerja sama, serta menilai dirinya
sendiri (self evaluation).
Model pembelajaran dan cara
penilaian matematika yang diterapkan
oleh guru di kelas sebenarnya
merupakan salah satu faktor yang
menentukan prestasi belajar siswa.
Faktor lain dalam belajar matematika
adalah faktor dari dalam diri setiap
siswa dalam hal ini adalah keterampilan
berpikir kritis. Menurut Paul dan Elder
(2007), berpikir kritis merupakan cara
Artikel_gede benny kurniawan Page 6
bagi seseorang untuk meningkatkan
kualitas dari hasil pemikiran
menggunakan teknik sistemasi cara
berpikir dan menghasilkan daya pikir
intelektual dalam ide-ide yang digagas.
Screven dan Paul (1987) memandang
bahwa berpikir kritis sebagai proses
disiplin cerdas secara aktif dan terampil
dari konseptualisasi, penerapan,
analisis, sintesa, dan mengevaluasi
informasi yang diperoleh dari, atau
dihasilkan oleh, pengamatan,
pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi, sebagai panduan untuk
keyakinan dan tindakan. Berpikir kritis
dapat digunakan sebagai sarana dalam
memecahkan masalah, mengambil
keputusan, mencari jawaban,
memperkaya arti, memenuhi keinginan
untuk mengetahui sesuatu (Johnson,
2002). Keterampilan berpikir kritis
dapat membantu manusia membuat
keputusan yang tepat berdasarkan usaha
yang cermat, sistematis, logis, dan
mempertimbangkan berbagai sudut
pandang.
Siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis akan dapat
bertindak secara normatif, siap bernalar
tentang sesuatu yang dilihat, dengar
atau pikirkan serta mampu memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
Menurut Santyasa (2006), ciri-ciri orang
yang memiliki kompetensi berpikir
kritis adalah cermat, suka
mengklasifikasi, terbuka, emosi stabil,
segera mengambil langkah-langkah
ketika situasi membutuhkan, suka
menuntut, menghargai perasaan dan
pendapat orang lain. Berpikir kritis
menurut Hiebert (1998) merupakan cara
berpikir logis yang memfokuskan pada
apa yang harus dipercayai atau
dilakukan. Dengan demikian siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi cenderung mampu dan tertantang
dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang diberikan di awal pembelajaran,
sedangkan siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah
justru sebaliknya.
Dalam pembelajaran berbasis
masalah yang dipadukan dengan
asesmen otentik, siswa diharapkan
mampu mengatasi permasalahan yang
diberikan sebagai proses untuk
menguasai konsep-konsep matematika
yang ada. Melalui PBM siswa diajak
untuk menyelesaikan masalah yang
kontekstual. Siswa didorong untuk
membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimiliki dengan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
diskusinya kemudian dibuat dalam
Artikel_gede benny kurniawan Page 7
bentuk laporan sederhana serta
dipaparkan melalui kegiatan presentasi
yang merupakan salah satu bentuk
asesmen otentik. Asesmen otentik yang
dipadukan dengan model pembelajaran
berbasis masalah ini ditujukan untuk
meningkatkan aktivitas dan motivasi
siswa dalam mengikuti pembelajaran
serta memberikan kesempatan kepada
siswa untuk selalu menilai dirinya
sendiri sehingga dapat mengetahui
tingkat penguasaan materi mereka.
Dengan meningkatnya aktivitas dan
motivasi siswa dalam mengikuti
pembelajaran serta diketahuinya
hubungan antara matematika sekolah
dengan dunia nyata mereka, siswa akan
lebih mudah memahami konsep-konsep
yang ada. Sebagai akibatnya, prestasi
belajar matematika siswa dapat
meningkat. Akan tetapi penerapan PBM
dan asesmen otentik di kelas sangatlah
perlu memperhatikan tingkat
keterampilan berpikir kritis siswa,
karena tingkat keterampilan berpikir
kritis ini mempengaruhi respon siswa
terhadap model pembelajaran yang
diterapkan. Siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
memiliki respon yang berbeda dengan
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah. Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis tertarik
untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik terhadap prestasi
belajar matematika ditinjau dari
keterampilan berpikir kritis siswa.
Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional, (2) untuk
mengetahui adanya interaksi antara
model pembelajaran dan keterampilan
berpikir kritis terhadap prestasi belajar
matematika, (3) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi, dan (4) untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan prestasi belajar
antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
Artikel_gede benny kurniawan Page 8
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
METODE
Penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitian kuasi eksperimen. Rancangan
eksperimen yang digunakan adalah
Posttest Only Control Group Design.
Dalam rancangan ini subyek yang
diambil dari populasi dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
secara acak (Arikunto, 2002a). Populasi
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
X program studi keahlian akuntansi di
SMK Negeri 1 Singaraja, tahun
pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari 4
kelas. Dari uji kesetaraan, didapatkan
bahwa keempat kelas tersebut
dinyatakan setara. Selanjutnya secara
random dipilih dua kelas yaitu kelas X
akuntansi A dan X akuntansi D sebagai
kelas eksperimen yang akan
dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik, sedangkan dua kelas
yang lain yaitu kelas X akuntansi B dan
X akuntansi C sebagai kelas kontrol
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional.
Untuk rancangan analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan faktorial 22 dengan
keterampilan berpikir kritis sebagai
faktor pemilah (variabel moderator).
Pemilah dibagi atas dua tingkatan yaitu
keterampilan berpikir kritis di atas ratarata
(27% dari atas) dan di bawah ratarata
(27% dari bawah) setelah data
diurutkan dari yang paling besar ke
paling kecil. Sebanyak 27% siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tertinggi untuk selanjutnya disebut
kelompok siswa dengan keterampilan
berpikir kritis tinggi, sedangkan
sebanyak 27% siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis terendah
untuk selanjutnya disebut kelompok
siswa dengan keterampilan berpikir
kritis rendah. Pengambilan masingmasing
27% kelompok atas dan
kelompok bawah didasarkan pada
anjuran Guilford (Candiasa, 2002).
Dalam pelaksanaan penelitian,
pemisahan tingkat keterampilan
berpikir kritis bersifat semu artinya
dalam kegiatan eksperimen, siswa tidak
dipisahkan secara nyata antara yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi dan keterampilan berpikir kritis
rendah. Karena kelas eksperimen dan
kelas konrol memiliki jumlah siswa
Artikel_gede benny kurniawan Page 9
yang sama, maka dapat ditentukan
banyaknya siswa yang termasuk
kelompok atas dan kelompok bawah di
masing-masing kelas yaitu masingmasing
terdiri dari 22 orang siswa.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu data mengenai
keterampilan berpikir kritis dan prestasi
belajar matematika siswa, baik pada
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik maupun pada
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Data mengenai
keterampilan berpikir kritis siswa
diperoleh melalui tes keterampilan
berpikir kritis yang terdiri dari 25 soal
objektif. Sedangkan data mengenai
prestasi belajar matematika siswa
diperoleh melalui tes prestasi belajar
yang terdiri dari 25 soal objektif yang
diperluas. Kedua tes yang digunakan
tersebut telah melalui uji validitas dan
reliabilitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan hasil tes keterampilan
berpikir kritis, diperoleh data siswa
yang termasuk ke dalam kelompok
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi dan kelompok
siswa yang berpikir kritis rendah, baik
yang berada pada kelas eksperimen
maupun kelas kontrol. Data prestasi
belajar kelompok siswa tersebut
ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 01: Rangkuman Data Prestasi Belajar Matematika
Sampel
Statistik
A1 A2 B1 B2 1 1 AB 1 2 AB 2 1 A B 2 2 A B
Rata-rata 71,95 66,59 69,98 68,57 75,64 68,27 64,32 68,86
Median 71,00 67,00 70,50 67,50 76,00 68,00 64,50 67,50
Modus 67,00 67,00 67,00 69,00 76,00 69,00 62,00 65,00
Varians 46,84 44,06 64,07 40,53 33,39 34,11 30,70 48,69
SD 6,84 6,64 8,00 6,37 5,78 5,84 5,54 6,98
Maks 86,00 79,00 86,00 84,00 86,00 84,00 73,00 79,00
Min 56,00 55,00 55,00 56,00 64,00 56,00 55,00 57,00
Artikel_gede benny kurniawan Page 10
Keterangan:
1 A : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik
2 A : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional
1 B : Kelompok siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis tinggi
2 B : Kelompok siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis rendah
1 1 AB : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dan memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
1 2 AB : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dan memiliki
keterampilan berpikir kritis rendah
2 1 A B : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional dan memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi
2 2 A B
: Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran dan asesmen konvensional dan memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah
Berdasarkan hasil uji
normalitas dan uji homogenitas varians
dapat disimpulkan bahwa data dari
semua kelompok berasal dari populasi
yang berdistribusi normal dan
mempunyai varians yang homogen.
Oleh karena itu, uji hipotesis dengan
ANAVA dapat dilakukan.Uji hipotesis
dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan ANAVA dua jalur.
Selanjutnya bila terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis dalam
pengaruhnya terhadap prestasi belajar
matematika maka dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan uji Tukey.
Rangkuman hasil analisis ANAVA dua
jalur dapat dilihat pada tabel 02
berikut.
Artikel_gede benny kurniawan Page 11
Tabel 02: Rangkuman Hasil ANAVA dua jalur
Sumber
Varian
Jumlah
Kuadrat
Derajat
kebebasan
Rata-rata
Jumlah
Kuadrat
hitung F tabel F Keterangan
A 632,9091 1 632,9091 17,2342 3,96 Signifikan
B 43,6818 1 43,6818 1,1894 3,96 Non Signifikan
AB 780,0455 1 780,0455 21,2407 3,96 Signifikan
Dalam 3084,818 84 36,7240 -
Total 4541,455 87 - -
Tujuan pertama penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis
pertama dengan rincian H0 : A1 = A2
dan H1 : A1 ≠ A2. Dari hasil
perhitungan ANAVA dua jalur
ditunjukkan bahwa nilai Fhitung =
17,2342 dan nilai Ftabel = 3,96 pada
taraf signifikansi 5%. Karena Fhitung >
Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Ini berarti bahwa ada perbedaan
prestasi belajar matematika antara
siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran dan asesmen
konvensional.
Tujuan kedua penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis kedua
dengan rincian H0 : INT A  B = 0 dan
H1 : INT A  B ≠ 0. Dari hasil
perhitungan ANAVA dua jalur
ditunjukkan bahwa nilai Fhitung =
21,2407 dan nilai Ftabel = 3,96 pada
taraf signifikansi 5%. Karena Fhitung >
Ftabel berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Ini berarti bahwa terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika siswa.
Tujuan ketiga penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis ketiga
dengan rincian H0 : A1B1 = A2B1
dan H1 : A1B1 ≠ A2B1. Dari hasil
perhitungan uji Tukey diperoleh Qhitung
sebesar 8,7602, sedangkan harga Qtabel
sebesar 2,83. Jadi Qhitung > Qtabel.
Berdasarkan hasil tersebut, maka H0
ditolak dan H1 diterima. Ini berarti
bahwa terdapat perbedaan prestasi
belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi.
Artikel_gede benny kurniawan Page 12
Tujuan keempat penelitian ini
adalah untuk menguji hipotesis
keempat dengan rincian H0 : A1B2 =
A2 B2 dan H1 : A1 B2 ≠ A2 B2. Dari
hasil perhitungan uji Tukey diperoleh
Qhitung sebesar 0,6468, sedangkan harga
Qtabel sebesar 2,83 Jadi Qhitung < Qtabel.
Berdasarkan hasil tersebut, maka H0
diterima dan H1 ditolak. ini berarti
bahwa tidak ada perbedaan prestasi
belajar antara siswa yang mengikuti
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran dan
asesmen konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
Dasar filosofi model
pembelajaran berbasis masalah adalah
konstruktivisme yang menyatakan
bahwa pebelajar membangun
pengetahuan dalam benaknya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut bahwa
pengetahuan fisik dan pengetahuan
logika-matematika tidak dapat
dipindahkan secara utuh. Setiap siswa
harus sendiri membangun
pengetahuannya. Di samping secara
teoretik model pembelajaran berbasis
masalah meletakkan dasar pada
filosofis pendidikan John Dewey,
dimana siswa akan belajar dengan baik
apabila mereka terlibat secara aktif
dalam segala kegiatan di kelas dan
berkesempatan untuk menemukan
sendiri (Jacobsen, Eggen, Kauchak,
2009). Guru dapat membantu pebelajar
dengan cara membuat informasi
menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan
ide-ide. Keadaan ini dapat dimisalkan
dengan guru menyediakan tangga yang
dapat membantu siswa untuk mencapai
prestasi belajar yang lebih tinggi,
namun harus diupayakan agar siswa
sendiri yang memanjat tangga itu.
Implementasi pembelajaran
berbasis masalah di kelas dimulai
dengan penyampaian masalah kepada
siswa. Masalah yang diberikan kepada
siswa adalah masalah yang
kontekstual, yaitu masalah yang aktual
yang ada di sekitar lingkungannya dan
relevan dengan materi yang diharapkan
dapat dikuasai oleh siswa. Masalah
yang disajikan di awal pembelajaran
merupakan stimulus pembelajaran.
Ketika siswa menghadapi masalah
yang berkaitan dengan kehidupan
mereka sehari-hari, timbul rasa
tanggung jawab untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, sehingga pada
Artikel_gede benny kurniawan Page 13
diri siswa muncul kesadaran untuk
menggali informasi yang relevan untuk
menyelesaikan permasalahan yang
sedang dihadapi. Masalah-masalah
yang sedikit banyak berhubungan
dengan bidang keahlian siswa mampu
membuat siswa lebih tertantang untuk
menyelesaikan permasalahanpermasalahan
tersebut.
Asesmen otentik yang
dilakukan oleh guru juga memberikan
banyak kontribusi dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa. Melalui asesmen
kinerja yang dilakukan dalam
pembelajaran, siswa merasa bahwa
tugas-tugas yang mereka kerjakan
benar-benar bermakna dan mereka
langsung mengetahui tingkat
pengetahuannya terhadap suatu
permasalahan. Hal ini disebabkan
karena dalam asesmen kinerja ada tiga
komponen utama yang harus
diperhatikan yaitu tugas kinerja
(performance task), rubrik performansi
(performance rubrics), dan cara
penilaian (scoring guide). Kemudian
melalui evaluasi diri yang dilakukan
pada setiap akhir pembelajaran, siswa
dapat melihat kelebihan maupun
kekurangannya, untuk selanjutnya
kekurangan ini menjadi tujuan
perbaikan (improvement goal). Hal ini
berakibat pada meningkatnya tanggung
jawab siswa terhadap proses dan
pencapaian tujuan belajarnya. Ini
sejalan dengan apa yang disampaikan
oleh Salvia dan Ysseldike (1996)
bahwa refleksi dan evaluasi diri
merupakan cara untuk menumbuhkan
rasa kepemilikan (ownership), yaitu
timbul suatu pemahaman bahwa apa
yang dilakukan dan dihasilkan peserta
didik tersebut memang merupakan hal
yang berguna bagi diri dan
kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut,
dapat diyakini bahwa model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik lebih unggul
dibandingkan dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional dalam pencapaian
prestasi belajar matematika siswa,
sehingga model pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik ini
diharapkan dapat menjadi suatu
alternatif pembelajaran dalam upaya
peningkatan prestasi belajar siswa.
Keterampilan berpikir kritis
yaitu kemampuan untuk menganalisa
fakta, mengorganisasi ide-ide,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membuat suatu
kesimpulan, mempertimbangkan
Artikel_gede benny kurniawan Page 14
argumen, dan memecahkan masalah.
Mereka yang berpikir secara kritis
memiliki pemaknaan gagasan dengan
lebih baik, tetap terbuka tentang
beragam pendekatan dan sudut
pandang dan menentukan untuk diri
mereka sendiri apa yang harus
dipercaya atau apa yang harus
dilakukan. Berdasarkan hal tersebut,
maka siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis tinggi
cenderung menyukai model
pembelajaran yang memberikan
tantangan bagi mereka. Dalam
penerapan model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik,
siswa disajikan beberapa permasalahan
di awal pembelajaran. Hal tersebut
memberikan peluang bagi siswa,
terutama siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis tinggi,
untuk mencoba menggunakan
kemampuannya dalam menganalisa
fakta, mengorganisasi ide-ide,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membuat suatu
kesimpulan, mempertimbangkan
argumen, dan memecahkan masalah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa siswa yang memiliki
tingkat keterampilan berpikir kritis
tinggi lebih baik jika padanya
diterapkan model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik.
Siswa yang memiliki tingkat
keterampilan berpikir kritis rendah
cenderung kurang termotivasi dan
kurang percaya diri dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Hal tersebut
menyebabkan siswa sulit menentukan
arah kegiatan belajar, karena itu dalam
kegiatan belajarnya lebih suka
mempertahankan kebiasaan yang sudah
ada dan kurang tertarik kepada
pembaruan. Indikasi lain yaitu siswa
yang memiliki keterampilan berpikir
kritis rendah kurang aktif dalam proses
pembelajaran, dan cenderung
bergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas. Karakteristikkarakteristik
tersebut membutuhkan
peran guru yang lebih banyak untuk
mengarahkan materi pelajaran selama
proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran yang lebih
mementingkan peran guru dalam
proses pembelajaran adalah model
pembelajaran konvensional, karena
siswa yang mempunyai keterampilan
berpikir kritis rendah melalui
bimbingan guru dapat mencapai
prestasi belajar siswa yang lebih
optimal. Peran guru yang aktif bagi
Artikel_gede benny kurniawan Page 15
siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis rendah mutlak
diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas
dapat dilihat adanya kesesuaian antara
ciri siswa yang memiliki keterampilan
berpikir kritis tinggi dengan kondisi
yang diperlukan dalam pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik
yaitu menyukai tantangan, memiliki
keinginan yang kuat untuk
menganalisa suatu fakta sehingga
mampu memecahkan suatu
permasalahan. Demikian pula siswa
yang memiliki keterampilan berpikir
kritis rendah dengan ciri cenderung
kurang aktif, kondisi ini membutuhkan
keaktifan guru dalam mengajar,
sehingga kegiatan belajar mengajar
tetap dapat berjalan dengan baik.
Penelitian ini membuktikan bahwa
suatu model pembelajaran dalam
meningkatkan prestasi belajar
berkaitan dengan karakteristik siswa
yaitu keterampilan berpikir kritis.
PENUTUP
Berdasarkan hasil-hasil
pengujian hipotesis dan pembahasan
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
sebagai berikut. Pertama, terdapat
perbedaan prestasi belajar antara siswa
yang mengikuti pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik dengan
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Siswa yang belajar
dengan model pembelajaran berbasis
masalah dan asesmen otentik
menunjukkan prestasi belajar yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang belajar dengan model
pembelajaran dan asesmen
konvensional. Kedua, terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika. Ketiga,
terdapat perbedaan prestasi belajar
antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran berbasis masalah
dan asesmen otentik dengan kelompok
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
tinggi. Kelompok siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi
memiliki prestasi belajar yang lebih
baik jika dibelajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dibandingkan dengan
model pembelajaran dan asesmen
konvensional. Keempat, tidak terdapat
perbedaan prestasi belajar antara
Artikel_gede benny kurniawan Page 16
kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik dengan kelompok
siswa yang mengikuti model
pembelajaran dan asesmen
konvensional pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis
rendah.
Adapun saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut.
Pertama, Bagi praktisi pendidikan,
perlu adanya penelitian lebih lanjut
menyangkut model pembelajaran
berbasis masalah dan asesmen otentik.
Dalam hal ini tidak hanya pada standar
kompetensi memecahkan masalah
yang berkaitan dengan fungsi,
persamaan fungsi linear dan fungsi
kuadrat saja tetapi juga pada materi
yang lain. Selain itu, sampel penelitian
diharapkan lebih besar dan pada
tingkat yang beragam, sehingga
temuan dalam penelitian ini mendapat
lebih banyak kajian sebagai bahan
pertimbangan. Dengan demikian
ketepatan dalam penerapan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik ini dapat
dioptimalkan. Kedua, Bagi guru,
dengan ditemukan adanya interaksi
antara model pembelajaran dan
keterampilan berpikir kritis terhadap
prestasi belajar matematika maka
dalam memilih model pembelajaran
hendaknya senantiasa
mempertimbangkan keadaan peserta
didik, khususnya tingkat keterampilan
berpikir kritisnya. Penerapan model
pembelajaran berbasis masalah dan
asesmen otentik akan memperoleh
hasil yang optimal jika peserta didik
yang dihadapi kecenderungan memiliki
keterampilan berpikir kritis tinggi. Jika
dalam suatu kelas ditemukan beberapa
siswa tidak memiliki keterampilan
berpikir kritis yang memadai maka
diperlukan adanya pra kondisi terhadap
keterampilan berpikir kritisnya
sebelum model pembelajaran ini
diterapkan. Pra kondisi bisa dilakukan
dengan cara memberikan masalahmasalah
yang dapat melatih
keterampilan berpikir kritis siswa
tersebut. Ketiga, Asesmen otentik yang
diterapkan dalam penelitian ini hanya
terbatas pada dua bentuk asesmen yaitu
asesmen kinerja dan evaluasi diri.
Kedua jenis asesmen tersebut diambil
dengan asumsi bahwa keduanya sesuai
dengan karakteristik siswa SMK yang
berharap mendapatkan bekal yang
cukup sebelum mereka terjun di dunia
kerja. Untuk itu perlu kiranya dikaji
penggunaan bentuk asesmen lainnya
Artikel_gede benny kurniawan Page 17
dalam pembelajaran pada satuan
pendidikan yang berbeda. Penggunaan
bentuk asesmen sebaiknya disesuaikan
dengan karakteristik siswa yang
dihadapi, sehingga hasil yang
diharapkan maksimal. Keempat,
Asesmen otentik yang diterapkan
dalam penelitian ini hanya sebatas
untuk meningkatkan aktivitas,
motivasi, dan sikap siswa terhadap
kegiatan-kegiatan yang relevan dalam
kelas. Hasil-hasil penilaian yang
diperoleh siswa tidak diintegrasikan
dengan hasil tes prestasi belajar siswa
bersangkutan. Untuk itu perlu dikaji
lebih lanjut tentang penggunaan hasil
asesmen otentik ini sehingga
berpengaruh langsung terhadap skor
prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002a. Manajemen
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta
Dryden, G. 2002. Revolusi Cara
Belajar. Cet. Ke-3. Bandung :
Kaifa.
Ibrahim, M. dan Mohamad N. 2000.
Pengajaran Berdasarkan
Masalah. Pusat Sains dan
Matematika Sekolah. Program
Pascasarjana UNESA:
University Press
Marheni, AAIN. 2008. Pembelajaran
Berbasis Asesmen Otentik
dalam Rangka Implementasi
Sekolah Kategori Mandiri
(SKM). Makalah. Disajikan
dalam Pelatihan Peningkatan
Kinerja Guru SMA 1 Kediri
Tabanan, dalam Rangka
Implementasi SKM; tanggal 30
Desember 2008
Paul, R & Elder, L. 2007. Critical
Thingking Concepts and Tool.
Tersedia pada: http://www.
criticalthingking.org/files/SAMCrtclCrtvThnkg.
pdf. diakses
pada tanggal 11 Desember 2011
Scriven, M. & Paul, R. 1987. Critical
Thingking as Defined by the
National Council for Excellence
in Critical Thingking. Presented
at the 8th Annual International
Conference on Critical
Thingking and Education
Reform
Santyasa, I. W. 2006.
Pengakomodasian Perubahan
Paradigma Peserta Didik
dalam Pembelajaran. Orasi
Pengenalan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Disiplin Ilmu
Pendidikan Fisika pada
Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Disampaikan pada Sidang
Terbuka Senat Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja,
Senin 28 Agustus 2006.
Johnson, E.B. 2002. Contextual
Teaching and Learning: What it
is and why it’s here to stay.
United States of America:
Corwin Press, INC
Jacobsen, D.A., Eggen, P., & Kauchak,
D. 2009. Methods for Teaching:
Artikel_gede benny kurniawan Page 18
Promoting Students Learning in
K-12 Classrooms: Person
education, Inc: Allyn & Bacon
Candiasa, I M. 2002. Pengaruh
Strategi Pembelajaran dan
Gaya Kognitif terhadap
Kemampuan Memprogramkan
Komputer. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta